Ketika Nada-Nada Lahir dari Pengorbanan yang Tak Terlihat.
Bandung, (4/12/2025) Suara Imam Kelana terdengar berat, ketika ia masuk ke ruang rekaman Podcast Rumah Komunitas. Bukan karena sakit, katanya, tetapi karena semalaman ia berjaga, menunggu satu nada yang terasa jujur. “Kadang baru ketemu menjelang subuh,” ucapnya sambil tertawa terbahak (ciri khas ketawa Imam) dalam menyembunyikan lelah yang akrab bagi banyak musisi.
Dalam percakapan podcast itu, Imam membawa sebuah kegelisahan lama: musisi sering dihargai hanya dengan ucapan terima kasih, seakan nada-nada yang mereka bawa ke panggung lahir tanpa biaya dan tenaga. Banyak dari mereka pulang hanya dengan konsumsi, tanpa dukungan transportasi, tanpa kesepakatan jelas—padahal karya yang mereka hadirkan membutuhkan proses panjang yang tak terlihat.
“Kami berangkat bukan cuma bawa alat,” kata Imam, “tapi bawa cerita, perasaan, dan harapan.”
Imam bersama komunitas musik di Bandung mencoba mengubah cara pandang itu. Melalui ruang Podcast Rumah Komunitas, ia mengajak penyelenggara acara, kafe, dan ruang-ruang publik untuk melihat musisi sebagai pekerja kreatif, bukan sekadar pengisi suasana. Apresiasi, menurutnya, tidak harus besar—yang penting layak, manusiawi, dan mengakui proses.
Ia tahu perjuangan ini tidak mudah. Tetapi dalam setiap suaranya, ada keyakinan bahwa perubahan bisa dimulai dari percakapan kecil. Dari pemahaman sederhana bahwa musik tidak hadir gratis; ia lahir dari manusia yang memberi sebagian hidupnya pada nada. Saat episode berakhir, Imam membawakan lagu patah hati berjudul “Hari Ini” potongan lagu yang merepresentasikan gagal cinta di hari, dan tanggal yang sama jadian dan pernilkahan. Lembut, rapuh, tetapi jujur. Rasanya seperti pengingat: sebelum kita berkata “nuhun”, ada baiknya kita juga mengerti perjalanan panjang yang membuat sebuah lagu bisa sampai ke telinga kita dengan sisi emosional yang luar biasa (Vick/4/12/2025).