* Warna yang tampil di layar dapat berbeda sekitar ±5% dari produk fisik.
* Warna yang tampil di layar dapat berbeda sekitar ±5% dari produk fisik.
Bermodal semangat, komunitas ini mengubah cara anak muda Bandung melihat film: bukan sekadar tontonan, tapi ruang berekspresi dan berbagi cerita kehidupan.
Malam Bandung itu lembut. Hujan rintik, kopi hangat, dan layar putih di sudut Perpustakaan Ajip Rosidi jadi saksi obrolan ringan tapi penuh makna di acara Cinema Ajip. Sosok Deden M. Sahid, salah satu penggagas Bandung Film Commission (BFC), bercerita santai tentang bagaimana ide besar itu lahir — bukan dari ruang studio megah, tapi dari kedai Cass Dipati Ukur Bandung, sekitar tahun 2016–2018.
“Waktu itu cuma ngobrol aja sama teman-teman. Nggak punya alat, tapi punya niat. Dari situ lahir BFC,” kata Deden sambil tersenyum. BFC kemudian jadi wadah kreatif buat siapa pun yang pengin bikin film pendek tanpa harus punya kamera canggih.
“Cukup pake HP. Yang penting punya konsep cerita,” tambahnya.
Dari situ lahirlah program Sinema Keliling (Simkuiring), yang membawa tontonan dan diskusi film ke berbagai daerah — dari Bandung sampai luar kota. Tiap bulan, komunitas ini rutin nonton bareng film pendek buatan anggota lalu membedahnya bareng sutradara dan penonton di Perpustakaan Ajip Rosidi.
Yang bikin keren, karya-karya BFC udah melanglang buana sampai ke festival internasional, dari Singapura hingga Eropa.
“Nggak nyangka, film dari HP bisa nembus ke sana. Tapi intinya, jangan takut mulai dari kecil,” ujar Deden.
Lewat kegiatan ini, BFC pengin ngasih ruang bagi anak muda buat belajar bikin film dari nol, memahami proses kreatif, dan berani mengekspresikan ide sosial atau keseharian lewat visual.
Cinema Ajip malam itu pun jadi bukti, bahwa film nggak harus mahal — cukup dengan keberanian bercerita dan semangat berbagi (Vick/7/11/2025)
