Ruang kerja di Bandung ini membangun budaya belajar dan spiritualitas melalui diskusi Kamisan yang melibatkan seluruh karyawan sebagai bentuk penguatan karakter dan kebersamaan.
Di sebuah rumah bertingkat empat di Taman Cibaduyut Indah, suara mesin jahit lantai bawah biasanya mendominasi hari-hari kerja. Namun setiap Kamis sore, ritme itu berubah. Para karyawan Rumah Komunitas menutup perangkat kerja mereka dan berkumpul dalam satu lingkaran. Di sana, mereka bukan lagi CEO, desainer, penjahit, CS, ataupun konten kreator—mereka menjadi keluarga yang belajar bersama tentang sejarah, spiritualitas, dan cara menjadi manusia yang lebih baik.
Rumah Komunitas mungkin dikenal sebagai tempat produksi berbagai custom product seperti jaket, rompi, tas, hingga celana. Namun bagi orang-orang yang bekerja di dalamnya, tempat itu bukan sekadar ruang industri kreatif. Rumah Komunitas adalah tempat yang merawat manusia: pikirannya, hatinya, dan nilai kebersamaannya.
Sejak awal berdiri, sang founder, Kang Ariep, selalu menekankan bahwa Rumah Komunitas dibangun bukan hanya untuk mencari nafkah melalui karya, tetapi juga untuk membangun karakter individu. Ia ingin karyawannya tumbuh bukan hanya sebagai pekerja, melainkan sebagai manusia merdeka yang bisa mengekspresikan diri dalam desain, musik, konten, pelayanan konsumen, hingga keterampilan produksi.
“Di rumah ini, kita tumbuh bersama. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah,” kata Kang Ariep dalam salah satu sesi internal.
Nilai itu terlihat dalam budaya kerja yang tidak memandang usia, jenjang pendidikan, ataupun latar belakang suku. Semua karyawan dianggap setara, dihormati, dan diberi ruang untuk berkembang.
Kajian Kamisan: Ruang Spiritual yang Menyatu dengan Ruang Kreatif. Salah satu program unik di Rumah Komunitas adalah Kamisan—kajian rutin yang digelar setiap Kamis sore untuk seluruh karyawan laki-laki. Sementara untuk karyawan perempuan, kajian dilaksanakan setiap Jumat.
Menariknya, kajian ini tidak berformat ceramah satu arah. Tidak ada seorang “guru tetap” di depan ruangan. Yang ada adalah forum diskusi yang hidup.
Peserta dibagi menjadi enam kelompok—masing-masing memiliki koordinator, pemateri, notulen, dan anggota yang bergiliran berbicara. Mereka belajar membaca, mengemukakan pendapat, bertanya, dan menjelaskan sesuatu kepada kelompoknya.
Tema yang dibahas pun berlapis-lapis: sejarah perjuangan Rasulullah, wafatnya Rasulullah, kepemimpinan para sahabat, perjalanan dinasti-dinasti Islam, hingga penyebaran Islam di Nusantara.
Walau topiknya berat, suasananya tetap santai. Ada yang grogi saat pertama kali berbicara, ada yang salah sebut nama tokoh sejarah dan ditertawakan bersama, ada yang membaca dengan terbata-bata namun disemangati.
Bagi sebagian karyawan, Kamisan justru menjadi ruang pertama mereka untuk berlatih public speaking. Belajar Bersama, Bertumbuh Bersama. Menurut Kang Ariep, program Kamisan dirancang bukan hanya untuk menambah pengetahuan agama, tetapi sebagai penguat nilai kebersamaan dan pengingat sejarah.
“Sejarah itu penting. Kita belajar agar tidak lupa. Dengan Kamisan, kita belajar bicara kebaikan dan memperkuat silaturahmi,” jelasnya.
Kajian yang berlangsung dari selepas Asar hingga menjelang Magrib itu menciptakan suasana berbeda di lingkungan kerja. Di sesi itu, semua orang melepas identitas formal masing-masing. Tidak ada kepala produksi, tidak ada desainer senior, tidak ada CS yang sedang melayani pelanggan—yang ada hanyalah keluarga yang saling mendengarkan.
Bagi karyawan, Kamisan telah menjadi ruang aman untuk tumbuh. Ruang untuk belajar tanpa malu. Ruang untuk menguatkan hati, mengasah logika, dan menanam nilai spiritual dalam rutinitas yang biasanya penuh deadline.
Rumah yang Dibangun oleh Kebersamaan. Budaya Kamisan memperlihatkan bahwa Rumah Komunitas bukan sekadar tempat bekerja atau perusahaan konveksi. Ia benar-benar menjadi rumah—rumah yang menghidupkan komunikasi hangat, merawat budaya belajar, dan menyatukan spiritualitas sebagai pondasi langkah sebelum di panggil pulang oleh sang pencipta (Vick/14/11/2025).